Dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Cukup lama ternyata dia disini.
Diklat pelatihan jurnalistik yang dia ikuti mulai dari 5 jam yang lalu, membuat semangat untuk menulisnya menjadi menggebu.
Jujur, dia bukanlah tipe orang yang memiliki kata-kata indah bak sastrawan atau penulis-penulis novel yang bukunya sudah dia baca dan hampir semuanya adalah buku karangan penulis terkenal,
tapi keinginan untuk selalu menulisnya tinggi, meskipun kepercayaan dirinya untuk hal itu sangat kecil, seperseribu dari keinginan dia menulis. Jadi tak heran jika apa yang telah dia tulis, jumlahnya tak sebanding dengan apa yang telah dia posting di blog miliknya.
Di dalam ruangan berukuran 3x5 meter, dia mengerjakan tugas yang diberi oleh kepala pengurus rumah pelatihan tersebut. Latihan meliput berita lebih tepatnya. Berita yang diliput dari konverensi yang 2 jam lalu dilakukan oleh kepala pengurus dan pemateri yang didatangkan dari suatu media cetak yang terkenal di provinsinya. Diklat yang dihadiri oleh 25 peserta mahasiswa yang sejurusan dengan Deyna, riuh karena saat itu sedang istirahat. Mereka riuh membicarakan tugas meliput berita itu. Ada yang sedang serius mengerjakan, dengan sesekali mendesis karena tak mau konstentrasinya diganggu oleh peserta lain yang riuh. Ada pula yang hanya hilir mudik mengintipi tugas setiap peserta untuk mencari inspirasi apa yang akan dia tulis.
Deyna termasuk golongan yang pertama. Namun konsentrasinya pecah karena mendengar suara nada dering handphone yang ada disaku kiri almamaternya. Dia lupa menyetel mode silent sebelum diklat tadi. Dengan cepat dia merogoh sakunya, karena takut nada dering itu mengganggu yang lain. Muncul sebuah pesan dari pengirim yang hanya muncul deretan nomor. Dia sengaja tak menyimpan di kontaknya. Hanya tarikan napas yang berat. Balasan singkat nan jelas untuk menjawab suatu ajakan dari pengirim, yang dia kirim.
Dikembalikannya lagi handphone ke saku kirinya. Tak bisa dibohongi, pesan tadi membekas dipikiran Deyna. Meskipun dia tak menghiraukan pesan tersebut dan hanya membalas singkat, tapi dia berharap. Ini aneh. Sangat aneh.
Lima belas menit kemudian, kepala pengurus rumah pelatihan tersebut datang untuk mengambil hasil dari liputan yang telah dikerjakan oleh para peserta. Deyna mengumpulkan hasil liputannya. Dia menulis liputan tersebut hanya sesuai apa yang telah dia catat, dan apa yang ada dipikirannya, dia tuangkan di situ.
Satu setengah jam berlalu. Kepala pengurus rumah pelatihan, yang akrab dengan penggilan Pak Tomy, kembali masuk ke dalam ruangan, dia mengumumkan dan membicarakan tentang hasil dari liputan yang telah dikerjakan oleh para peserta.
Saat dia melihat tumpukan kertas HVS yang berisi hasil liputan, dia melihat kertas paling atas adalah kertas miliknya, yang dia tau dari tinta merah yang terukir di atas kertas putih itu. Dia memang sengaja memakai tinta merah.
Tanpa dia duga, kalimat yang dilontarkan Pak Tomy sangat mengejutkan ketika nama Deyna disebut sebagai penulis hasil liputan terbaik dari 25 peserta. Suatu keanehan memang. Jujur dia merasa hasil liputannya tak sebagus itu. Kalimatnya juga biasa saja. "Mungkin ini yang namanya bejo", batinnya.
Tepukan tangan dari peserta lain memaksa Deyna untuk memasang senyum dibibirnya. Namun anehnya, dia malah takut. Dia merasa aneh. Rasa takut lebih mendominasi batinnya dibanding rasa bangga.
Dua hari setelah diklat jurnalistik itu, di tanggal yang tercantum di pesan yang Deyna terima 2 hari yang lalu. Anehnya, mulai semalam dia memikirkan tentang apapun kejadian yang akan terjadi hari ini.
Tak seperti biasanya, Deyna yang selalu cuek akan ajakan dan gangguan itu, sekarang malah memikirkannya. Namun, si pengganggu itu tak kunjung memberinya kabar. Satu pesan pun tak muncul. Resahlah hatinya.
Pukul 19.00, keisengannya membuka social media ternyata bukan malah membuat perasaannya lebih baik, melainkan sebaliknya. Tercantum nama si pengganggu dan orang lain disana, mengisyaratkan bahwa si pengganggu sudah punya tempat berlabuh.
Sesuatu yang aneh kembali terjadi. Perasaan sesak dihatinya, bagai diapitnya oleh dua dinding yang kuat sekali menekan tubuhnya. Dia tak bisa berkutik. Diam. Pandangannya kosong ke arah layar. Dia tak percaya tentang apa yang ada disana.
Sangat berkebalikan dengan apa yang si pengganggu ucapkan saat mengganggu Deyna. Sangat sulit dicerna apa yang terjadi. Si Pengganggu sudah punya tempat berlabuh yang lain.
Tampilkan postingan dengan label STORY. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label STORY. Tampilkan semua postingan
Jumat, 24 Januari 2014
Kamis, 16 Januari 2014
Tentang 6 Bulan yang Lalu dan Sekarang
Semacam rindu yang sudah menguap ingin keluar. Malam ini telah dibayar semuanya.
Sudah hampir 6 bulan tidak menghadiri pengajian rutin shalat hajat Kamis malam Jumat di Masjid Agung Baiturrahman.
Sekarang terbayar semua kerinduan yang sudah menumpuk karena urusan duniawi di Surabaya.
Banyak perbedaan ternyata setelah 6 bulan berlalu.
6 bulan yang lalu, parkir motor sudah penuh sesak sebelum pukul 8. Sekarang jam 8 lebih pun masih longgar. Dimanapun kau bisa parkir motor sebebas mungkin. Karena 6 bulan yang lalu adalah musim ujian masuk perguruan tinggi. Orang-orang berlomba-lomba mencari rahmat-Nya untuk mengabulkan apa yang mereka inginkan. Dan sekarang bukanlah musim itu.
6 bulan yang lalu, berangkat shalat hajat dari sekolah menuju masjid agung, berkonvoi sepeda aku dan teman-teman setelah dari istighosah di sekolah. Sekarang berangkat sendiri, seperti orang asing di kota sendiri.
6 bulan yang lalu, aku selalu memarkir sepeda di tempat yang menurutku itu sangat strategis untuk suatu misi. Sekarang, aku mencoba tetap menempati tempat itu, untuk mengenang kenangan lebih tepatnya.
6 bulan yang lalu, berderet shaf kedua dari depan wajahnya sebagian aku kenal. Teman-temanku. Senang juga ternyata beribadah bersama orang yang kita kenal. Sekarang, hanya wajah ibu-ibu yang penuh harap mendapat anugrah malam ini yang mataku tangkap.
6 bulan yang lalu, ketika sibuk khusu' membaca puji-pujian yang kemudian buyar ketika seorang memakai baju koko dan peci dengan gagahnya berjalan di depan shaf wanita. Jalannya agak membungkuk menandakan kerendah hatiannya. Tatapannya tajam ke depan tanpa menoleh ke arah shaf wanita. Senyumnya terpasang ketika menyapa bapak-bapak yang berada di sampingnya. Sholatnya terlihat khusu' saat kucuri pandang dia sedang shalat tahiyatul masjid. Dan lamunanku buyar ketika aku sadar apa sebenarnya niat bulatku ke tempat ini. Sekarang, tekatku bulat. Tak seoval dulu. Karena sosok itu tidak ada.
6 bulan yang lalu, ketika selesai rangkaian acara pengajian shalat hajat, modusku merapikan mukenah di akhir acara agar bisa melihat sosok itu waktu pulang. Dan modus itu berhasil. Sapaan kecil dengan lebarnya senyuman aku tangkap dari wajahnya yang melihat ke arahku. Senang. Sekarang, modusku merapikan mukenah di akhir acara mungkin karena aku terlalu asyik mendengarkan ceramah dari pemateri. Agak munafik memang.
6 bulan yang lalu, ketika aku pergi ke tempat parkir dan mulai menaiki sepeda, 5 menit menunggu, keluarlah sosok itu. Senyum. Senyum itu yang selalu menandakan bahwa dia mengatakan sesuatu yang hanya orang yang sedang jatuh cinta yang tau.
6 bulan yang lalu, ketika pulang, sepedaku tak belok ke kiri di suatu pertigaan. Tapi ke kanan. Dengan gurauan kecil kita punya sedikit waktu untuk menikmati indahnya tengah malam kota kenangan ini dengan matic biru. Sekarang, di pertigaan itu aku belokkan setirku ke arah kiri. Pulang dengan hati yang aneh, seperti ada yang kurang. Merindukan memang.
Namun dibalik kenangan 6 bulan yang lalu, aku lebih terbuka dengan Pencipta saat ini. Mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada. Masalah kutumpahkan begitu saja. Sampai basah mukenah karena banyaknya tetesan masalah itu. Tak heran jika ketika aku sampai di rumah, umi bertanya-tanya tentang mataku yang sembab. Ya, itu salah satu saksi bisu keterbukaanku kepada Sang Pencipta. Juga kerinduanku terhadap Kekasih-Nya.
Puji-pujian yang dilantunkan, doa-doa yang dipanjatkan, semuanya membuatku lebih ingin membersihkan hati. Bagai scanner yang berproses membersihkan virus, doa-doa dan puji-pujian yang dilantunkan semuanya mengena. Aku bagai seorang yang jauh dari 'rumah'. Dan saat itu, dengan kerinduan yang mendalam, aku kembali pulang ke 'rumah'. Nyaman, lega, ringan. Itu yang aku rasakan sekarang.
Tentang gangguan itu? Maaf, aku sudah mengikhlaskan semuanya. Terima kasih sudah menyadarkan tentang gangguan itu. Terima kasih :)
Sudah hampir 6 bulan tidak menghadiri pengajian rutin shalat hajat Kamis malam Jumat di Masjid Agung Baiturrahman.
Sekarang terbayar semua kerinduan yang sudah menumpuk karena urusan duniawi di Surabaya.
Banyak perbedaan ternyata setelah 6 bulan berlalu.
6 bulan yang lalu, parkir motor sudah penuh sesak sebelum pukul 8. Sekarang jam 8 lebih pun masih longgar. Dimanapun kau bisa parkir motor sebebas mungkin. Karena 6 bulan yang lalu adalah musim ujian masuk perguruan tinggi. Orang-orang berlomba-lomba mencari rahmat-Nya untuk mengabulkan apa yang mereka inginkan. Dan sekarang bukanlah musim itu.
6 bulan yang lalu, berangkat shalat hajat dari sekolah menuju masjid agung, berkonvoi sepeda aku dan teman-teman setelah dari istighosah di sekolah. Sekarang berangkat sendiri, seperti orang asing di kota sendiri.
6 bulan yang lalu, aku selalu memarkir sepeda di tempat yang menurutku itu sangat strategis untuk suatu misi. Sekarang, aku mencoba tetap menempati tempat itu, untuk mengenang kenangan lebih tepatnya.
6 bulan yang lalu, berderet shaf kedua dari depan wajahnya sebagian aku kenal. Teman-temanku. Senang juga ternyata beribadah bersama orang yang kita kenal. Sekarang, hanya wajah ibu-ibu yang penuh harap mendapat anugrah malam ini yang mataku tangkap.
6 bulan yang lalu, ketika sibuk khusu' membaca puji-pujian yang kemudian buyar ketika seorang memakai baju koko dan peci dengan gagahnya berjalan di depan shaf wanita. Jalannya agak membungkuk menandakan kerendah hatiannya. Tatapannya tajam ke depan tanpa menoleh ke arah shaf wanita. Senyumnya terpasang ketika menyapa bapak-bapak yang berada di sampingnya. Sholatnya terlihat khusu' saat kucuri pandang dia sedang shalat tahiyatul masjid. Dan lamunanku buyar ketika aku sadar apa sebenarnya niat bulatku ke tempat ini. Sekarang, tekatku bulat. Tak seoval dulu. Karena sosok itu tidak ada.
6 bulan yang lalu, ketika selesai rangkaian acara pengajian shalat hajat, modusku merapikan mukenah di akhir acara agar bisa melihat sosok itu waktu pulang. Dan modus itu berhasil. Sapaan kecil dengan lebarnya senyuman aku tangkap dari wajahnya yang melihat ke arahku. Senang. Sekarang, modusku merapikan mukenah di akhir acara mungkin karena aku terlalu asyik mendengarkan ceramah dari pemateri. Agak munafik memang.
6 bulan yang lalu, ketika aku pergi ke tempat parkir dan mulai menaiki sepeda, 5 menit menunggu, keluarlah sosok itu. Senyum. Senyum itu yang selalu menandakan bahwa dia mengatakan sesuatu yang hanya orang yang sedang jatuh cinta yang tau.
6 bulan yang lalu, ketika pulang, sepedaku tak belok ke kiri di suatu pertigaan. Tapi ke kanan. Dengan gurauan kecil kita punya sedikit waktu untuk menikmati indahnya tengah malam kota kenangan ini dengan matic biru. Sekarang, di pertigaan itu aku belokkan setirku ke arah kiri. Pulang dengan hati yang aneh, seperti ada yang kurang. Merindukan memang.
Namun dibalik kenangan 6 bulan yang lalu, aku lebih terbuka dengan Pencipta saat ini. Mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada. Masalah kutumpahkan begitu saja. Sampai basah mukenah karena banyaknya tetesan masalah itu. Tak heran jika ketika aku sampai di rumah, umi bertanya-tanya tentang mataku yang sembab. Ya, itu salah satu saksi bisu keterbukaanku kepada Sang Pencipta. Juga kerinduanku terhadap Kekasih-Nya.
Puji-pujian yang dilantunkan, doa-doa yang dipanjatkan, semuanya membuatku lebih ingin membersihkan hati. Bagai scanner yang berproses membersihkan virus, doa-doa dan puji-pujian yang dilantunkan semuanya mengena. Aku bagai seorang yang jauh dari 'rumah'. Dan saat itu, dengan kerinduan yang mendalam, aku kembali pulang ke 'rumah'. Nyaman, lega, ringan. Itu yang aku rasakan sekarang.
Tentang gangguan itu? Maaf, aku sudah mengikhlaskan semuanya. Terima kasih sudah menyadarkan tentang gangguan itu. Terima kasih :)
Selasa, 24 Desember 2013
Film : Rectoverso
Sebenarnya sekarang adalah pekan
UAS. Dan pendirian saya, pekan UAS seperti ini haram hukumnya untuk
ngelakuin hal yang tidak bermanfaat. Misalnya nih, shopping, nonton film
di bioskop (kalo ada yang ngajak juga sih) atau di laptop, jalan-jalan,
ataupun bersemedi lama di toilet (hobi dari beberapa orang, hanya
beberapa, bukan semua). Tapi, dikarenakan pekan UAS-nya menurut saya
sangat tidak efektif, tiba-tiba ada dosen yang ngebatalin pertemuan
kelas dan diganti hari lain yang membuat saya "Errgh" ini, akhirnya saya
memutuskan untuk menonton film. Di bioskop? Bukan, di laptop (ketara
banget nggak ada yang ngajak nonton).
By the way, ada yang mau ngajak saya nonton? Saya siap lahir batin :D
Setelah
berputar-putar menjelajahi folder film yang ada di laptop saya,
akhirnya tangan saya menghentikan gerak mouse dan mengklik tepat pada
film yang berjudul "Rectoverso | Cinta yang tak Terucap"
film omnibus
atau antologi Indonesia bernuansa cinta yang dirilis pada 14 Februari
2013 ini diadaptasi dari novel karya penulis terkenal yang sangat
dikagumi oleh salah satu sahabat saya Nadiyah, Dewi "Dee" Lestari.
Cerita
sedikit tentang Nadiyah yang sangat menyukai buku-buku karya penyanyi
sekaligus penulis, "Dee", dia selalu dengan antusiasnya cerita tentang
apa yang telah dia baca dari buku-buku karangan "Dee" tersebut.
Dengan
mata yang berbinar, berbeda dengan saya, pendengar yang hanya
meng-iya-kan apapun yang dia ceritakan. Namun, setelah dia bosan
menceritakan apa yang telah dia baca, dia menyuruhku untuk membaca
sendiri buku karya "Dee". "Kalo buku yang ini sih, masih bacaan ringan."
kata Nadiyah ketika menyodorkanku buku dengan judul "Perahu Kertas".
Saat saya baca, memang benar. Dengan ketelitiannya menceritakan setiap
karakter yang ada dalam cerita, alur cerita yang runtun dan penuh dengan
teka-teki dibaliknya. Akhirnya, 'penyakit' Nadiyah itu menular ke saya.
Kembali
ke film Rectoverso. Sebenarnya film ini udah lama tayang di bioskop.
Dikarenakan waktu itu saya masih di Banyuwangi, dan disana bioskop hanya
ada satu-satunya, itupun bioskopnya terpaksa ditutup gara-gara lebih
sering dibuat mesum daripada dibuat nonton film. Yang salah siapa?
Uapiiiik, rek! Ojo ndelok lak nggak pingin nangis (klik google translate untuk mengetahui artinya).
Dalam
satu film ada 5 alur yang berbeda, Malaikat Juga Tahu, Cicak-cicak di
Dinding, Hanya Isyarat, Firasat, dan Curhat buat Sahabat. Kalau pingin
tau sinopsisnya, baca aja Rectoverso Film .
Iki lho sing nggarai aku nangis, rek :'(
Nonton dulu, baru tahu maksudnya ini apa.
Selain
klimaksnya keren, ditunjang sama suara Glenn Fredly dengan "Malaikat
Juga Tahu"-nya, nambah suasana jadi kayak
sesuatu-yang-tak-bisa-saya-ungkapkan *halah opo seh*. Bagi yang udah
nonton filmnya, setuju nggak kalau aku bilang ini The Best Omnibus Movie
Ever? Dan bagi yang belum nonton, aku saranin nonton deh. Dan aku yakin
semua orang memiliki cerita yang dimana dia memendam cintanya untuk
seseorang. Hanya memendam.
Selamat Menyaksikan dan Selamat Menghabiskan Tissue di Rumah ;)
Langganan:
Postingan (Atom)
Tampilkan postingan dengan label STORY. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label STORY. Tampilkan semua postingan
Jumat, 24 Januari 2014
Pelabuhan yang Lain
Dia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Cukup lama ternyata dia disini.
Diklat pelatihan jurnalistik yang dia ikuti mulai dari 5 jam yang lalu, membuat semangat untuk menulisnya menjadi menggebu.
Jujur, dia bukanlah tipe orang yang memiliki kata-kata indah bak sastrawan atau penulis-penulis novel yang bukunya sudah dia baca dan hampir semuanya adalah buku karangan penulis terkenal,
tapi keinginan untuk selalu menulisnya tinggi, meskipun kepercayaan dirinya untuk hal itu sangat kecil, seperseribu dari keinginan dia menulis. Jadi tak heran jika apa yang telah dia tulis, jumlahnya tak sebanding dengan apa yang telah dia posting di blog miliknya.
Di dalam ruangan berukuran 3x5 meter, dia mengerjakan tugas yang diberi oleh kepala pengurus rumah pelatihan tersebut. Latihan meliput berita lebih tepatnya. Berita yang diliput dari konverensi yang 2 jam lalu dilakukan oleh kepala pengurus dan pemateri yang didatangkan dari suatu media cetak yang terkenal di provinsinya. Diklat yang dihadiri oleh 25 peserta mahasiswa yang sejurusan dengan Deyna, riuh karena saat itu sedang istirahat. Mereka riuh membicarakan tugas meliput berita itu. Ada yang sedang serius mengerjakan, dengan sesekali mendesis karena tak mau konstentrasinya diganggu oleh peserta lain yang riuh. Ada pula yang hanya hilir mudik mengintipi tugas setiap peserta untuk mencari inspirasi apa yang akan dia tulis.
Deyna termasuk golongan yang pertama. Namun konsentrasinya pecah karena mendengar suara nada dering handphone yang ada disaku kiri almamaternya. Dia lupa menyetel mode silent sebelum diklat tadi. Dengan cepat dia merogoh sakunya, karena takut nada dering itu mengganggu yang lain. Muncul sebuah pesan dari pengirim yang hanya muncul deretan nomor. Dia sengaja tak menyimpan di kontaknya. Hanya tarikan napas yang berat. Balasan singkat nan jelas untuk menjawab suatu ajakan dari pengirim, yang dia kirim.
Dikembalikannya lagi handphone ke saku kirinya. Tak bisa dibohongi, pesan tadi membekas dipikiran Deyna. Meskipun dia tak menghiraukan pesan tersebut dan hanya membalas singkat, tapi dia berharap. Ini aneh. Sangat aneh.
Lima belas menit kemudian, kepala pengurus rumah pelatihan tersebut datang untuk mengambil hasil dari liputan yang telah dikerjakan oleh para peserta. Deyna mengumpulkan hasil liputannya. Dia menulis liputan tersebut hanya sesuai apa yang telah dia catat, dan apa yang ada dipikirannya, dia tuangkan di situ.
Satu setengah jam berlalu. Kepala pengurus rumah pelatihan, yang akrab dengan penggilan Pak Tomy, kembali masuk ke dalam ruangan, dia mengumumkan dan membicarakan tentang hasil dari liputan yang telah dikerjakan oleh para peserta.
Saat dia melihat tumpukan kertas HVS yang berisi hasil liputan, dia melihat kertas paling atas adalah kertas miliknya, yang dia tau dari tinta merah yang terukir di atas kertas putih itu. Dia memang sengaja memakai tinta merah.
Tanpa dia duga, kalimat yang dilontarkan Pak Tomy sangat mengejutkan ketika nama Deyna disebut sebagai penulis hasil liputan terbaik dari 25 peserta. Suatu keanehan memang. Jujur dia merasa hasil liputannya tak sebagus itu. Kalimatnya juga biasa saja. "Mungkin ini yang namanya bejo", batinnya.
Tepukan tangan dari peserta lain memaksa Deyna untuk memasang senyum dibibirnya. Namun anehnya, dia malah takut. Dia merasa aneh. Rasa takut lebih mendominasi batinnya dibanding rasa bangga.
Dua hari setelah diklat jurnalistik itu, di tanggal yang tercantum di pesan yang Deyna terima 2 hari yang lalu. Anehnya, mulai semalam dia memikirkan tentang apapun kejadian yang akan terjadi hari ini.
Tak seperti biasanya, Deyna yang selalu cuek akan ajakan dan gangguan itu, sekarang malah memikirkannya. Namun, si pengganggu itu tak kunjung memberinya kabar. Satu pesan pun tak muncul. Resahlah hatinya.
Pukul 19.00, keisengannya membuka social media ternyata bukan malah membuat perasaannya lebih baik, melainkan sebaliknya. Tercantum nama si pengganggu dan orang lain disana, mengisyaratkan bahwa si pengganggu sudah punya tempat berlabuh.
Sesuatu yang aneh kembali terjadi. Perasaan sesak dihatinya, bagai diapitnya oleh dua dinding yang kuat sekali menekan tubuhnya. Dia tak bisa berkutik. Diam. Pandangannya kosong ke arah layar. Dia tak percaya tentang apa yang ada disana.
Sangat berkebalikan dengan apa yang si pengganggu ucapkan saat mengganggu Deyna. Sangat sulit dicerna apa yang terjadi. Si Pengganggu sudah punya tempat berlabuh yang lain.
Diklat pelatihan jurnalistik yang dia ikuti mulai dari 5 jam yang lalu, membuat semangat untuk menulisnya menjadi menggebu.
Jujur, dia bukanlah tipe orang yang memiliki kata-kata indah bak sastrawan atau penulis-penulis novel yang bukunya sudah dia baca dan hampir semuanya adalah buku karangan penulis terkenal,
tapi keinginan untuk selalu menulisnya tinggi, meskipun kepercayaan dirinya untuk hal itu sangat kecil, seperseribu dari keinginan dia menulis. Jadi tak heran jika apa yang telah dia tulis, jumlahnya tak sebanding dengan apa yang telah dia posting di blog miliknya.
Di dalam ruangan berukuran 3x5 meter, dia mengerjakan tugas yang diberi oleh kepala pengurus rumah pelatihan tersebut. Latihan meliput berita lebih tepatnya. Berita yang diliput dari konverensi yang 2 jam lalu dilakukan oleh kepala pengurus dan pemateri yang didatangkan dari suatu media cetak yang terkenal di provinsinya. Diklat yang dihadiri oleh 25 peserta mahasiswa yang sejurusan dengan Deyna, riuh karena saat itu sedang istirahat. Mereka riuh membicarakan tugas meliput berita itu. Ada yang sedang serius mengerjakan, dengan sesekali mendesis karena tak mau konstentrasinya diganggu oleh peserta lain yang riuh. Ada pula yang hanya hilir mudik mengintipi tugas setiap peserta untuk mencari inspirasi apa yang akan dia tulis.
Deyna termasuk golongan yang pertama. Namun konsentrasinya pecah karena mendengar suara nada dering handphone yang ada disaku kiri almamaternya. Dia lupa menyetel mode silent sebelum diklat tadi. Dengan cepat dia merogoh sakunya, karena takut nada dering itu mengganggu yang lain. Muncul sebuah pesan dari pengirim yang hanya muncul deretan nomor. Dia sengaja tak menyimpan di kontaknya. Hanya tarikan napas yang berat. Balasan singkat nan jelas untuk menjawab suatu ajakan dari pengirim, yang dia kirim.
Dikembalikannya lagi handphone ke saku kirinya. Tak bisa dibohongi, pesan tadi membekas dipikiran Deyna. Meskipun dia tak menghiraukan pesan tersebut dan hanya membalas singkat, tapi dia berharap. Ini aneh. Sangat aneh.
Lima belas menit kemudian, kepala pengurus rumah pelatihan tersebut datang untuk mengambil hasil dari liputan yang telah dikerjakan oleh para peserta. Deyna mengumpulkan hasil liputannya. Dia menulis liputan tersebut hanya sesuai apa yang telah dia catat, dan apa yang ada dipikirannya, dia tuangkan di situ.
Satu setengah jam berlalu. Kepala pengurus rumah pelatihan, yang akrab dengan penggilan Pak Tomy, kembali masuk ke dalam ruangan, dia mengumumkan dan membicarakan tentang hasil dari liputan yang telah dikerjakan oleh para peserta.
Saat dia melihat tumpukan kertas HVS yang berisi hasil liputan, dia melihat kertas paling atas adalah kertas miliknya, yang dia tau dari tinta merah yang terukir di atas kertas putih itu. Dia memang sengaja memakai tinta merah.
Tanpa dia duga, kalimat yang dilontarkan Pak Tomy sangat mengejutkan ketika nama Deyna disebut sebagai penulis hasil liputan terbaik dari 25 peserta. Suatu keanehan memang. Jujur dia merasa hasil liputannya tak sebagus itu. Kalimatnya juga biasa saja. "Mungkin ini yang namanya bejo", batinnya.
Tepukan tangan dari peserta lain memaksa Deyna untuk memasang senyum dibibirnya. Namun anehnya, dia malah takut. Dia merasa aneh. Rasa takut lebih mendominasi batinnya dibanding rasa bangga.
Dua hari setelah diklat jurnalistik itu, di tanggal yang tercantum di pesan yang Deyna terima 2 hari yang lalu. Anehnya, mulai semalam dia memikirkan tentang apapun kejadian yang akan terjadi hari ini.
Tak seperti biasanya, Deyna yang selalu cuek akan ajakan dan gangguan itu, sekarang malah memikirkannya. Namun, si pengganggu itu tak kunjung memberinya kabar. Satu pesan pun tak muncul. Resahlah hatinya.
Pukul 19.00, keisengannya membuka social media ternyata bukan malah membuat perasaannya lebih baik, melainkan sebaliknya. Tercantum nama si pengganggu dan orang lain disana, mengisyaratkan bahwa si pengganggu sudah punya tempat berlabuh.
Sesuatu yang aneh kembali terjadi. Perasaan sesak dihatinya, bagai diapitnya oleh dua dinding yang kuat sekali menekan tubuhnya. Dia tak bisa berkutik. Diam. Pandangannya kosong ke arah layar. Dia tak percaya tentang apa yang ada disana.
Sangat berkebalikan dengan apa yang si pengganggu ucapkan saat mengganggu Deyna. Sangat sulit dicerna apa yang terjadi. Si Pengganggu sudah punya tempat berlabuh yang lain.
Kamis, 16 Januari 2014
Tentang 6 Bulan yang Lalu dan Sekarang
Semacam rindu yang sudah menguap ingin keluar. Malam ini telah dibayar semuanya.
Sudah hampir 6 bulan tidak menghadiri pengajian rutin shalat hajat Kamis malam Jumat di Masjid Agung Baiturrahman.
Sekarang terbayar semua kerinduan yang sudah menumpuk karena urusan duniawi di Surabaya.
Banyak perbedaan ternyata setelah 6 bulan berlalu.
6 bulan yang lalu, parkir motor sudah penuh sesak sebelum pukul 8. Sekarang jam 8 lebih pun masih longgar. Dimanapun kau bisa parkir motor sebebas mungkin. Karena 6 bulan yang lalu adalah musim ujian masuk perguruan tinggi. Orang-orang berlomba-lomba mencari rahmat-Nya untuk mengabulkan apa yang mereka inginkan. Dan sekarang bukanlah musim itu.
6 bulan yang lalu, berangkat shalat hajat dari sekolah menuju masjid agung, berkonvoi sepeda aku dan teman-teman setelah dari istighosah di sekolah. Sekarang berangkat sendiri, seperti orang asing di kota sendiri.
6 bulan yang lalu, aku selalu memarkir sepeda di tempat yang menurutku itu sangat strategis untuk suatu misi. Sekarang, aku mencoba tetap menempati tempat itu, untuk mengenang kenangan lebih tepatnya.
6 bulan yang lalu, berderet shaf kedua dari depan wajahnya sebagian aku kenal. Teman-temanku. Senang juga ternyata beribadah bersama orang yang kita kenal. Sekarang, hanya wajah ibu-ibu yang penuh harap mendapat anugrah malam ini yang mataku tangkap.
6 bulan yang lalu, ketika sibuk khusu' membaca puji-pujian yang kemudian buyar ketika seorang memakai baju koko dan peci dengan gagahnya berjalan di depan shaf wanita. Jalannya agak membungkuk menandakan kerendah hatiannya. Tatapannya tajam ke depan tanpa menoleh ke arah shaf wanita. Senyumnya terpasang ketika menyapa bapak-bapak yang berada di sampingnya. Sholatnya terlihat khusu' saat kucuri pandang dia sedang shalat tahiyatul masjid. Dan lamunanku buyar ketika aku sadar apa sebenarnya niat bulatku ke tempat ini. Sekarang, tekatku bulat. Tak seoval dulu. Karena sosok itu tidak ada.
6 bulan yang lalu, ketika selesai rangkaian acara pengajian shalat hajat, modusku merapikan mukenah di akhir acara agar bisa melihat sosok itu waktu pulang. Dan modus itu berhasil. Sapaan kecil dengan lebarnya senyuman aku tangkap dari wajahnya yang melihat ke arahku. Senang. Sekarang, modusku merapikan mukenah di akhir acara mungkin karena aku terlalu asyik mendengarkan ceramah dari pemateri. Agak munafik memang.
6 bulan yang lalu, ketika aku pergi ke tempat parkir dan mulai menaiki sepeda, 5 menit menunggu, keluarlah sosok itu. Senyum. Senyum itu yang selalu menandakan bahwa dia mengatakan sesuatu yang hanya orang yang sedang jatuh cinta yang tau.
6 bulan yang lalu, ketika pulang, sepedaku tak belok ke kiri di suatu pertigaan. Tapi ke kanan. Dengan gurauan kecil kita punya sedikit waktu untuk menikmati indahnya tengah malam kota kenangan ini dengan matic biru. Sekarang, di pertigaan itu aku belokkan setirku ke arah kiri. Pulang dengan hati yang aneh, seperti ada yang kurang. Merindukan memang.
Namun dibalik kenangan 6 bulan yang lalu, aku lebih terbuka dengan Pencipta saat ini. Mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada. Masalah kutumpahkan begitu saja. Sampai basah mukenah karena banyaknya tetesan masalah itu. Tak heran jika ketika aku sampai di rumah, umi bertanya-tanya tentang mataku yang sembab. Ya, itu salah satu saksi bisu keterbukaanku kepada Sang Pencipta. Juga kerinduanku terhadap Kekasih-Nya.
Puji-pujian yang dilantunkan, doa-doa yang dipanjatkan, semuanya membuatku lebih ingin membersihkan hati. Bagai scanner yang berproses membersihkan virus, doa-doa dan puji-pujian yang dilantunkan semuanya mengena. Aku bagai seorang yang jauh dari 'rumah'. Dan saat itu, dengan kerinduan yang mendalam, aku kembali pulang ke 'rumah'. Nyaman, lega, ringan. Itu yang aku rasakan sekarang.
Tentang gangguan itu? Maaf, aku sudah mengikhlaskan semuanya. Terima kasih sudah menyadarkan tentang gangguan itu. Terima kasih :)
Sudah hampir 6 bulan tidak menghadiri pengajian rutin shalat hajat Kamis malam Jumat di Masjid Agung Baiturrahman.
Sekarang terbayar semua kerinduan yang sudah menumpuk karena urusan duniawi di Surabaya.
Banyak perbedaan ternyata setelah 6 bulan berlalu.
6 bulan yang lalu, parkir motor sudah penuh sesak sebelum pukul 8. Sekarang jam 8 lebih pun masih longgar. Dimanapun kau bisa parkir motor sebebas mungkin. Karena 6 bulan yang lalu adalah musim ujian masuk perguruan tinggi. Orang-orang berlomba-lomba mencari rahmat-Nya untuk mengabulkan apa yang mereka inginkan. Dan sekarang bukanlah musim itu.
6 bulan yang lalu, berangkat shalat hajat dari sekolah menuju masjid agung, berkonvoi sepeda aku dan teman-teman setelah dari istighosah di sekolah. Sekarang berangkat sendiri, seperti orang asing di kota sendiri.
6 bulan yang lalu, aku selalu memarkir sepeda di tempat yang menurutku itu sangat strategis untuk suatu misi. Sekarang, aku mencoba tetap menempati tempat itu, untuk mengenang kenangan lebih tepatnya.
6 bulan yang lalu, berderet shaf kedua dari depan wajahnya sebagian aku kenal. Teman-temanku. Senang juga ternyata beribadah bersama orang yang kita kenal. Sekarang, hanya wajah ibu-ibu yang penuh harap mendapat anugrah malam ini yang mataku tangkap.
6 bulan yang lalu, ketika sibuk khusu' membaca puji-pujian yang kemudian buyar ketika seorang memakai baju koko dan peci dengan gagahnya berjalan di depan shaf wanita. Jalannya agak membungkuk menandakan kerendah hatiannya. Tatapannya tajam ke depan tanpa menoleh ke arah shaf wanita. Senyumnya terpasang ketika menyapa bapak-bapak yang berada di sampingnya. Sholatnya terlihat khusu' saat kucuri pandang dia sedang shalat tahiyatul masjid. Dan lamunanku buyar ketika aku sadar apa sebenarnya niat bulatku ke tempat ini. Sekarang, tekatku bulat. Tak seoval dulu. Karena sosok itu tidak ada.
6 bulan yang lalu, ketika selesai rangkaian acara pengajian shalat hajat, modusku merapikan mukenah di akhir acara agar bisa melihat sosok itu waktu pulang. Dan modus itu berhasil. Sapaan kecil dengan lebarnya senyuman aku tangkap dari wajahnya yang melihat ke arahku. Senang. Sekarang, modusku merapikan mukenah di akhir acara mungkin karena aku terlalu asyik mendengarkan ceramah dari pemateri. Agak munafik memang.
6 bulan yang lalu, ketika aku pergi ke tempat parkir dan mulai menaiki sepeda, 5 menit menunggu, keluarlah sosok itu. Senyum. Senyum itu yang selalu menandakan bahwa dia mengatakan sesuatu yang hanya orang yang sedang jatuh cinta yang tau.
6 bulan yang lalu, ketika pulang, sepedaku tak belok ke kiri di suatu pertigaan. Tapi ke kanan. Dengan gurauan kecil kita punya sedikit waktu untuk menikmati indahnya tengah malam kota kenangan ini dengan matic biru. Sekarang, di pertigaan itu aku belokkan setirku ke arah kiri. Pulang dengan hati yang aneh, seperti ada yang kurang. Merindukan memang.
Namun dibalik kenangan 6 bulan yang lalu, aku lebih terbuka dengan Pencipta saat ini. Mengeluarkan segala uneg-uneg yang ada. Masalah kutumpahkan begitu saja. Sampai basah mukenah karena banyaknya tetesan masalah itu. Tak heran jika ketika aku sampai di rumah, umi bertanya-tanya tentang mataku yang sembab. Ya, itu salah satu saksi bisu keterbukaanku kepada Sang Pencipta. Juga kerinduanku terhadap Kekasih-Nya.
Puji-pujian yang dilantunkan, doa-doa yang dipanjatkan, semuanya membuatku lebih ingin membersihkan hati. Bagai scanner yang berproses membersihkan virus, doa-doa dan puji-pujian yang dilantunkan semuanya mengena. Aku bagai seorang yang jauh dari 'rumah'. Dan saat itu, dengan kerinduan yang mendalam, aku kembali pulang ke 'rumah'. Nyaman, lega, ringan. Itu yang aku rasakan sekarang.
Tentang gangguan itu? Maaf, aku sudah mengikhlaskan semuanya. Terima kasih sudah menyadarkan tentang gangguan itu. Terima kasih :)
Selasa, 24 Desember 2013
Film : Rectoverso
Sebenarnya sekarang adalah pekan
UAS. Dan pendirian saya, pekan UAS seperti ini haram hukumnya untuk
ngelakuin hal yang tidak bermanfaat. Misalnya nih, shopping, nonton film
di bioskop (kalo ada yang ngajak juga sih) atau di laptop, jalan-jalan,
ataupun bersemedi lama di toilet (hobi dari beberapa orang, hanya
beberapa, bukan semua). Tapi, dikarenakan pekan UAS-nya menurut saya
sangat tidak efektif, tiba-tiba ada dosen yang ngebatalin pertemuan
kelas dan diganti hari lain yang membuat saya "Errgh" ini, akhirnya saya
memutuskan untuk menonton film. Di bioskop? Bukan, di laptop (ketara
banget nggak ada yang ngajak nonton).
By the way, ada yang mau ngajak saya nonton? Saya siap lahir batin :D
Setelah
berputar-putar menjelajahi folder film yang ada di laptop saya,
akhirnya tangan saya menghentikan gerak mouse dan mengklik tepat pada
film yang berjudul "Rectoverso | Cinta yang tak Terucap"
film omnibus
atau antologi Indonesia bernuansa cinta yang dirilis pada 14 Februari
2013 ini diadaptasi dari novel karya penulis terkenal yang sangat
dikagumi oleh salah satu sahabat saya Nadiyah, Dewi "Dee" Lestari.
Cerita
sedikit tentang Nadiyah yang sangat menyukai buku-buku karya penyanyi
sekaligus penulis, "Dee", dia selalu dengan antusiasnya cerita tentang
apa yang telah dia baca dari buku-buku karangan "Dee" tersebut.
Dengan
mata yang berbinar, berbeda dengan saya, pendengar yang hanya
meng-iya-kan apapun yang dia ceritakan. Namun, setelah dia bosan
menceritakan apa yang telah dia baca, dia menyuruhku untuk membaca
sendiri buku karya "Dee". "Kalo buku yang ini sih, masih bacaan ringan."
kata Nadiyah ketika menyodorkanku buku dengan judul "Perahu Kertas".
Saat saya baca, memang benar. Dengan ketelitiannya menceritakan setiap
karakter yang ada dalam cerita, alur cerita yang runtun dan penuh dengan
teka-teki dibaliknya. Akhirnya, 'penyakit' Nadiyah itu menular ke saya.
Kembali
ke film Rectoverso. Sebenarnya film ini udah lama tayang di bioskop.
Dikarenakan waktu itu saya masih di Banyuwangi, dan disana bioskop hanya
ada satu-satunya, itupun bioskopnya terpaksa ditutup gara-gara lebih
sering dibuat mesum daripada dibuat nonton film. Yang salah siapa?
Uapiiiik, rek! Ojo ndelok lak nggak pingin nangis (klik google translate untuk mengetahui artinya).
Dalam
satu film ada 5 alur yang berbeda, Malaikat Juga Tahu, Cicak-cicak di
Dinding, Hanya Isyarat, Firasat, dan Curhat buat Sahabat. Kalau pingin
tau sinopsisnya, baca aja Rectoverso Film .
Iki lho sing nggarai aku nangis, rek :'(
Nonton dulu, baru tahu maksudnya ini apa.
Selain
klimaksnya keren, ditunjang sama suara Glenn Fredly dengan "Malaikat
Juga Tahu"-nya, nambah suasana jadi kayak
sesuatu-yang-tak-bisa-saya-ungkapkan *halah opo seh*. Bagi yang udah
nonton filmnya, setuju nggak kalau aku bilang ini The Best Omnibus Movie
Ever? Dan bagi yang belum nonton, aku saranin nonton deh. Dan aku yakin
semua orang memiliki cerita yang dimana dia memendam cintanya untuk
seseorang. Hanya memendam.
Selamat Menyaksikan dan Selamat Menghabiskan Tissue di Rumah ;)
Langganan:
Postingan (Atom)